Selain ritus berangkat dan datang, pergi dan kembali, menuju dan pulang, apakah yang dapat dikatakan oleh serangkai kereta? Apakah yang tetap tinggal ketika sebuah stasiun dilepas di belakang demi stasiun tujuan yang belum lagi dicapai?
Stasiun keberangkatan dan tujuan adalah dua titik utama sebuah perjalanan berkereta api. Dua ujung sebuah garis dari-menuju. Lalu di antara kedua titik itu terentang sebuah lini, negosiasi antara yang lampau dengan yang nanti, masa lalu dengan masa depan yang sesungguhnya nisbi, ilusif, tiada. Yang hadir kemudian adalah ‘saat ini’ yang terus-menerus melampaukan dirinya. Dalam pelarian terus-menerus dari kini ke lampau semacam inilah serangkaian gerbong kereta berpacu menaklukkan (atau justru ditaklukkan?) waktu. Karena masa depan sesungguhnya hanya ilusi dan masa kini selalu bermutasi menjadi lawas, maka penyair, atau siapapun, yang mencoba mencatat peristiwa di serangkaian situs kota-stasiun-gerbong hanya akan menemukan catatan sejarah, masa lampau. Itulah ‘kenyataan’ yang masih mungkin dicatat karena ‘saat ini’ telah serta-merta menjadi lampau begitu memasuki alam resepsi indrawi, apalagi saat dituliskan. Rupanya, catatan sejarah itu, atau lebih puitik disebut sebagai ‘kenangan’, menemukan deritnya di gerbong-gerbong puisi yang melaju pergi-pulang.
* * *
Perjalanan (ber)kereta api sepertinya memang mengasyikkan untuk ditulis, dibandingkan perjalanan dengan pesawat udara misalnya. Mungkin karena perjalanan kereta api (terutama di negri kita yang akrab dengan jadual mulur) menyediakan waktu ‘menunggu’ atau saat senjang yang relatif cukup panjang dari titik ‘meninggalkan’ ke ‘menuju’; cukup panjang untuk sebuah kegiatan merenung, meresapi bekas emosi dari peristiwa tercabut dari sebuah locus, sementara tempat baru yang terbayang masih belum tergambar dengan jelas. Di suasana seperti itu kita seperti terjebak di tengah medan magnetik. Gaya tarik dari tiap-tiap kutub–lampau dan nanti–itu seolah memberi sebuah momen ‘diam’. Momen yang bagi beberapa orang mungkin sangat fertil untuk membuahi indung telur puitikanya. ‘(M)ereka meninggalkan sperma dan kelak/ anak-anak tumbuh dari huruf-huruf’ begitu kata Moh. Fahmi Amrulloh dalam “Halaman Koran Tercecer di Toilet”.
Kelihatannya beberapa penyair yang menuliskan puisi-puisi bertema kereta api mengalami proses pembuahan sempurna yang menghasilkan sajak-sajak memoar, puisi tentang kenangan: yang masih tertinggal di derit gesekan roda besi dan rel kereta yang ulang-alik secepat kain penghapus di papan tulis. Kenangan, rupanya adalah salah satu, kalau bukan satu-satunya, yang tetap bergeming tak terhapus oleh gesekan rutinitas pergi-pulang, ritus manusia modern yang tak henti ‘…berlalulalang meringis membawa dunia. Yang akan pergi menuju ujung bumiimaji…’ (“Lelaki Stasiun”, Agustinus Wahyono).
Kereta api adalah representasi gerak. Stasiun adalah representasi diam. Tempat duduk di gerbong kereta yang bergerak, adalah representasi diam dalam gerak. Penyair Urip H. Kambali yang kental dengan renungan-renungan filosofi-spiritual dalam setiap sajak-sajaknya menuliskan dengan bahasa yang meditatif tentang gerak dan diam: ‘duduk di stasiun kereta/ aku melihat kehidupan yang bergerak/ tetapi,/ aku juga menemukan kehidupan yang membeku’ atau ‘aku menatap sunyi yang tergeletak/ sendiri diantara lalu lalang kesibukan’ (Di Stasiun Kereta). Baik dalam gerak cepat yang rutin maupun dalam diam, waktu menjadi sublim, tak terdeteksi lagi. Masih dalam sajak tersebut juga tercatat kontemplasi Urip atas waktu: ‘waktu datang dan pergi tanpa diketahui,/ mengendap-endap’, seolah jebakan bagi kesadaran kita, dan saat kita tersadar kembali entah ‘saat lampu-lampu mulai menyala’ atau karena ‘…rintik hujan turun’, kita serentak diingatkan bahwa ‘selalu ada yang terlambat atau tertinggal’. Meski sedikit terungkap, ada terbaca ‘suasana romantis sepanjang malam’ yang bagi saya sangat berasa ‘kenangan’ yang terbangkit oleh suasana stasiun yang dicatatnya itu.
Demikianlah, pada sajak-sajak yang terhimpun dalam Gerbong Puisi –sebuah perayaan penulisan sastra bertema Kereta Api–kali ini saya cium aroma memoar, catatan atas kenangan yang terutama dibangkitkan oleh moda transportasi publik bernama kereta api dan segala citraan di sekitarnya, baik stasiun yang diam maupun kereta yang ‘berlari, mengejar sepasang garis’ (Di Batas Waktu, Titon Rahmawan). Kenangan, jejak yang masih terlacak atas penggal waktu yang ‘hilang’, adalah semacam batu nisan yang memanggil-manggil untuk diziarahi kapan-kapan, sehingga Titon rela ‘pergi begitu jauh hingga sebatas angan/ …/ hanya untuk sekedar mengenang lagi/ setangkup perih yang aku tinggalkan’. Sajak, akhirnya menjadi semacam epitaf yang tertulis di nisan waktu. Tak soal apakah epitaf itu benar-benar dipahatkan di batu marmer seperti sajak salah satu penyair generasi Beat Gregory Corso di batu nisannya sendiri atau cukup di buku catatan harian di mana Aan Mansyur menyimpan tiga kereta api kenangannya: ‘Lalu waktu menjelma rel kereta api/ mengembalikan semua yang pergi’ meski Aan juga mencatat bahwa kembalinya semua yang pergi tak selalu serta-merta memupus rasa kehilangan, sebab waktu sering kali tak sepakat dengan hasrat. ‘Sayang, sudah aku tinggalkan stasiun.’
Itulah kenangan, perlu keberanian untuk melepaskan, agar ada yang dapat diingat. Walau jalur rel kereta senantiasa tetap, waktu selalu melaju ke arah yang tak dapat kita duga. Waktu selalu melaju lebih cepat dari yang mampu kita catat. Dan ini disadari benar oleh Widzar Al Ghifary (Aku Melepasmu di Stasiun Kota), yang dengan kesabaran sebuah dermaga dan keikhlasan sebatang busur, melepaskan kau-lirik yang ‘lesat memburu riuh dan bising yang melengking’ meskipun ‘tak ada yang menjanjikan kepulangan’ karena Widzar telah sampai pada pengetahuan tentang laut lepas juga tentang stasiun-stasiun yang lain di mana kisah-kisah yang lain siap dimulai. Lalu, kisah apa lagi yang akan dibawa gerbong puisi kali ini?
____________________
* Tulisan ini didasarkan pada beberapa sajak bertema “kereta api” di milis Apresiasi-Sastra@yahoogroups.com
Tinggalkan Balasan ke feza Batalkan balasan